Slider Widget

Responsive Advertisement

KPA Catat 2.939 Letusan Konflik Agraria di Era Jokowi, Didominasi Perkebunan dan PSN

KPA Catat 2.939 Letusan Konflik Agraria di Era Jokowi, Didominasi Perkebunan dan PSN


GLEGAR.COM Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA mencatat laju kenaikan pesat letusan konflik agraria di era Presiden Jokowi. 

Sekretaris Jenderal atau Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan, sepanjang 2015 hingga 2023 ada 2.939 konflik agraria yang dicatat oleh KPA yang didominasi oleh perkebunan dan proyek strategis nasional atau PSN.

“Ada 6,3 juta hektare tanah dalam situasi konflik, korban terdampak sebanyak 1,75 juta keluarga, tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Ini diakibatkan dari investasi dan model pembangunan di sektor perkebunan, infrastruktur, properti, kehutanan, termasuk percepatan proyek-proyek strategis nasional (PSN) menjadi penyebab tertinggi letusan-letusan konflik,” kata Dewi saat ditemui Tempo pada Kamis, 18 Januari 2024.

Angka letusan konflik yang terjadi di era Jokowi, menurut Dewi mengalami kenaikan dua kali lipat (100 %) dibanding satu dekade pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya yang menyebabkan 1.502 letusan konflik. 

“Padahal angka letusan konflik di era pemerintahan Joko Widodo tersebut baru lah sembilan tahun,” kata Dewi.

Dewi mengatakan, sektor perkebunan, pembangunan infrastruktur, dan percepatan-percepatan proyek strategis nasional adalah wilayah tertinggi letusan-letusan konflik tersebut. 

Pada sektor perkebunan, KPA mencatat sedikitnya 1.131 kejadian konflik. Sementara pembangunan sektor properti sebanyak 609 letusan konflik, infrastruktur menyebabkan 507 letusan konflik.

“Selain itu, proyek-proyek strategis nasional juga menjadi wilayah konflik agrarian baru. KPA mencatat hanya dalam kurun waktu empat tahun 2021 hingga 2023 telah menyebabkan 115 kejadian konflik di berbagai wilayah,” katanya.

Memurut Dewi, kencangnya pembangunan dan investasi di era pemerintahan Joko Widodo berjalan linear dengan laju eskalasi letusan konflik agraria di berbagai wilayah. Permasalahannya, kata Dewi, bukan di pembangunan dan investasi yang datang. 

Namun cara pandang pemerintah yang luput menghormati hak-hak rakyat di wilayah terget pembangunan dan investasi sehingga berujung pada penggusuran dan perampasan tanah.

“Maraknya letusan konflik agraria yang terjadi, sebenarnya menggambarkan reaksi masyarakat atas perampasan tanah yang tengah mereka alami. Perampasan tanah atau land grabbing, yang terjadi seringkali dapat terjadi karena tidak diakuinya sistem kepemilikan masyarakat yang telah berlaku di wilayah mereka selama bergenerasi,” katanya.

Penolakan pengakuan hak dan sistem kepemilikan tanah yang berlaku di Masyarakat banyak disebabkan oleh dominannya penggunaan azas domein era kolonial yang masih saja diberlakukan. 

Padahal, kata Dewi sistem kepemilikan masyarakat atas tanah sudah dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang Pembaruan Agraria atau UUPA Tahun 1960.

“Dalam banyak kasus, negara sering memaksa hak atas tanah warga negara masuk ke dalam kerangka hukum yang sangat positivistik sehingga mereka yang tidak bisa membuktikan kepemilikan secara legal formal dianggap penggarap liar. Sesuatu yang sejatinya berasal dari kesalahan pemerintah sendiri yang tidak kunjung mendaftkan tanah-tanah warga Negara seperti apa yang dimandatkan UUPA dulu,” jelasnya.

Faktor Eskalasi Konflik Tinggi

Maraknya konflik agraria yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yang membuat laju eskalasi konflik agraria semakin meningkat dalam satu dekade terakhir. Dewi mengatakan setidaknya ada enam faktor yang menyebabkannya.

Pertama, pembangunan dan investasi yang sangat pro-pasar dan modal, luput menghormati hak-hak warga Negara atas tanah sehingga dengan mudah mencerabutnya demi memfasilitasi kepentingan investor dan badan usaha skala besar. 

Kedua, monopoli dan ketimpangan penguasaan tanah yang semakin akut sehingga menyebabkan tingginya gesekan antara masyarakat dengan pemerintah dan badan usaha akibat menyempitnya ruang hidup masyarakat.

Ketiga, tumpang-tindih klaim dan akumulasi konflik agraria yang tidak pernah diselesaikan yang bercampur baur dengan konflik-konflik agraria baru akibat perampasan tanah dan penggusuran untuk pembangunan dan investasi. 

Keempat, penggunaan kekerasan, kriminalisasi dan manipulasi opsi ganti kerugian dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan investasi badan-badan usaha skala besar.

Kelima, tumpeng-tindih kebijakan dan peraturan sehingga berbagai aturan yang dibuat untuk melindungi petani dan lahan pertanian dikalahkan oleh kebijakan yang mengakomodir investasi dan pembangunan. 

Keenam, cara pandang hukum positivistik dalam pengelolaan sumber-sumber agraria sehingga dengan gampang menyingkirkan masyarakat, terutama petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat pedesaan dan rentan perkotaan yang tidak bisa membuktikan kepemilikannya secara legal meskipun sudah berada di sana selama berdekade.

Saat ini, menurut Dewi, posisi masyarakat semakin lemah, sebab pemerintah semakin mengukuhkan berbagai kemudahan proses pembebasan lahan demi investasi dan percepatan proyek-proyek strategis nasional.

Sebut saja UU Cipta Kerja dengan berbagai regulasi turunannya seperti seperti PP No.42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, PP No.64/2021 tentang Bank Tanah, PP No.19/2021 tentang Pengadaan Tanah (revisi atas UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum), dan PP No.18/2021 tentang Hak Pengelolaan.

“Termasuk revisi UU Minerba yang semakin mempermudah eksplorasi dan eksploitasi perusahaan tambang dalam mengeruk kekayaan agraria nasional,” katanya.

Sumber: Tempo

Give Comments