Slider Widget

Responsive Advertisement

Di Balik Poster Jokowi Bohong Yang Warnai Peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan

Di Balik Poster Jokowi Bohong Yang Warnai Peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan

GLEGAR.COMSejumlah poster ungkapan kekecewaan, dan bahkan perlawanan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi mewarnai 17 tahun Aksi Kamisan di depan Istana yang jatuh pada Kamis, 18 Januari 2024. 

Bersama peringatan itu, sebanyak ratusan orang yang terhimpun dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti Aksi Kamisan pada sore itu.

Mereka yang terdiri dari para pegiat HAM, keluarga korban pelanggaran HAM berat, dan yang lainnya kompak mengenakan pakaian serba hitam, sembari membawa payung hitam. 

Beberapa di antaranya membawa poster berupa tuntutan dan ungkapan kekecewaan, seperti “Jokowi Bohong” dan “Bela Korban! Lawan!”.

Beberapa foto terduga pelaku pelanggaran HAM berat juga dicetak dan dipajang di seberang Istana Presiden. 

Salah satunya adalah Prabowo Subianto, yang diduga bertanggung jawab atas penculikan aktivis ’98. 

Prabowo kini Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju bentukan Jokowi, juga calon presiden yang didukungnya dalam pemilu tahun ini. 

Poster kekecewaan kepada Jokowi muncul sebab, hingga akhir masa kepemimpinannya selama dua periode pada tahun ini, janji penuntasan kasus pelanggaran HAM belum juga tuntas. 

“Setelah Jokowi mengakui terjadinya perkara pelanggaran HAM berat, mestinya harus segera ditindaklanjuti dalam kaitannya penyelesaian secara yudisial,” kata Suciwati, istri dari korban pelanggaran HAM berat Munir Said Thalib, ketika ditemui di lokasi Aksi Kamisan itu.

Ia menegaskan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat dilakukan secara non-yudisial. 

Menurut dia, jika Jokowi memang seorang reformis sejati, semestinya mau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini secara adil. 

“Tapi justru di ujung pemerintahannya, Pak Jokowi malah membangun politik dinasti,” ujarnya merujuk, antara lain, kepada cawapres Gibran Rakabuming Raka yang menjadi cawapres berpasangan dengan Prabowo.

Mereka yang hadir di Peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan itu memulai dengan aksi diam. Ratusan orang berdiri di depan Istana Presiden, berhadapan dengan petugas polisi yang berjaga.

Di barisan depan, mereka menutup mata dengan sehelai kain hitam sembari mengalungi papan yang bernarasikan ringkasan belasan peristiwa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

Misalnya seperti Tragedi Tanjung Priok (1989), Tragedi Mei (1998), dan penghilangan orang secara paksa (1997-1998).

3 Tuntutan untuk Jokowi Sebelum Lengser

Setelah aksi diam itu, beberapa aktivis dan pegiat HAM berorasi memberikan refleksi kepada ratusan peserta, untuk menyuarakan perlawanan dan tuntutannya kepada pemerintah. 

Sumarsih, ibu dari Wawan, korban Peristiwa Semanggi 1, misalnya. Dia mengatakan bahwa Aksi Kamisan bukanlah isu lima tahunan.

Menurut Sumarsih, berlanjutnya Aksi Kamisan hingga hampir dua dekade menjadi bukti bahwa negara belum menunaikan kewajibannya untuk mempertanggungjawabkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. 

Sebaliknya, dia menilai upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat dilakukan setengah hati oleh para penguasa. 

“Tanpa benar-benar berorientasi untuk mewujudkan keadilan, akuntabilitas, dan pemenuhan hak-hak korban,” ucapnya.

Dalam memperingati 17 tahun Aksi Kamisan ini, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menuntut Presiden Jokowi untuk membuktikan komitmen dengan melakukan langkah nyata dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara adil dan menghapus impunitas. 

Tuntutan kedua, kata Sumarsih, Presiden Jokowi memerintahkan jaksa agung menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM dan membentuk tim penyidik ad hoc. 

Hal ini sesuai mandat yang ada di Pasal 21 Ayat 3 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Tuntutan yang terakhir, Sumarsih meminta kepada Presiden Jokowi untuk memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat secara menyeluruh. 

“Tuntutan kami akan terus berlanjut hingga korban dan keluarga korban dapat hak menyeluruh, termasuk hak atas kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan tidak terjadinya peristiwa serupa,” kata Sumarsih.

Sumber: Tempo

Give Comments