Slider Widget

Responsive Advertisement

Jadi Dokter Gadungan Susanto Terancam 4 Tahun Penjara, Kemenkes Soroti Pentingnya Proses Verifikasi Berlapis

Profesi dokter. (Ilustrasi/ net)

WELFARE.id-Usai sosok Susanto terkuak sebagai dokter gadungan selama dua tahun di RS PHC Surabaya, masyarakat banyak yang meragukan, apakah benar selama ia bekerja tidak pernah menangani pasien? Menanggapi keraguan masyarakat, manajemen PT PHC mengklarifikasi, bahwa Susanto yang terindikasi melakukan penipuan dengan memalsukan dokumen kepegawaian tersebut merupakan Pekerja Waktu Tertentu yang ditempatkan di Klinik OHIH/Klinik K3 pada satu Perusahaan Area Jawa Tengah.

“Terdakwa berinisial S bertugas dengan ruang lingkup pekerjaan utama pada aspek preventif dan promotif (tidak melakukan tindakan medis dan pemberian resep obat), serta pemeriksaan kesehatan dasar kepada pekerja yang dibantu oleh Perawat Hiperkes dan atas supervisi Dokter Hiperkes Perusahaan,” ujar Direktur Utama PT Pelindo Husada Citra dr Sunardjo dalam keterangan resminya, Rabu (13/9/2023). Ia juga menyampaikan klarifikasi bahwa Susanto tidak pernah sekalipun ditempatkan dan melayani pasien umum di Rumah Sakit PHC Surabaya.

Dalam prosesnya, Manajemen PT PHC telah bekerja sama dengan perusahaan tersebut guna melakukan tindak lanjut dengan melakukan penggantian dokter perusahaan, serta melakukan evaluasi pemeriksaan kesehatan dasar yang diberikan kepada para pekerja agar operasional usaha dapat tetap berlangsung dengan baik. “Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap dugaan penipuan oleh terdakwa S dengan memalsukan dokumen kepegawaian, manajemen PT PHC berinisiatif dan telah berkolaborasi dengan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan penipuan tersebut,” kata Sunardjo.

Susanto dilaporkan oleh RS PHC Surabaya usai ketahuan memalsukan identitasnya sebagai dokter. Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Ugik Ramatyo dari Kejari Tanjung Perak Surabaya, Susanto melamar ke RS PHC saat rumah sakit tersebut membuka lowongan pekerjaan untuk tenaga medis pada April 2020. 

Susanto lantas beraksi dengan memalsukan semua dokumen yang dibutuhkan termasuk surat Izin Praktik ijazah kedokteran hingga sertifikasi Hiperkes. “Semua dokumen itu didapat terdakwa dari internet. Terdakwa melamar dengan nama dr Anggi Yurikno, yang dikirim melalui email,” kata Ugik.

Selain memalsukan semua dokumen, terdakwa juga lulus seleksi wawancara yang digelar virtual. Terdakwa pun mulai bekerja dan dikontrak 2 tahun mulai Juni 2020 di Klinik K3 PT Pertamina EP IV Cepu. 

“Selama bekerja, terdakwa juga mendapatkan gaji Rp7,5 juta per bulan serta tunjangan lainnya,” terang Ugik. Aksi Susanto mulai terendus pada Mei 2023. 

Saat itu, RS PHC meminta persyaratan administrasi kepada Susanto yang mengaku bernama dr Anggi Yurikno untuk keperluan perpanjangan kontrak. Dokumen dimaksud dari FC Daftar Riwayat Hidup (CV), FC Ijazah, FC STR (Surat Tanda Registrasi), FC KTP, FC Sertifikat Pelatihan, FC Hiperkes, FC ATLS, hingga FC ACLS. Dari beberapa syarat dokumen yang dikirim, pihak manajemen menemukan kejanggalan. 

Alhasil, nama dr Anggi Yurikno pun ditelusuri. “Hasil penelusuran, dr Anggi Yurikno bekerja di Rumah Sakit Umum Karya Pangalengan Bhakti Sehat Bandung,” ujarnya. 

Setelah proses klarifikasi kepada Susanto, akhirnya pihak RS PHC melaporkannya ke polisi. Bekerja lebih dari 2 tahun sebagai dokter gadungan, RS PHC mengaku menderita kerugian total Rp262 juta. Dalam dakwaan jaksa penuntut umum, terdakwa Susanto didakwa melanggar pasal 378 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.

Merespons masalah tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI dr Siti Nadia Tarmizi menyesalkan aksi tersebut dengan menyoroti pentingnya proses verifikasi di keputusan awal kontrak tenaga kesehatan. Dalam tahap tersebut, tugas komite etik untuk memastikan kemampuan atau kompetensi nakes sesuai dengan pernyataan yang dilampirkan dalam surat maupun sertifikat.

“Sebenarnya seharusnya, pada kontrak pertama proses kredensial dari komite medik untuk menentukan tenaga medis tadi kompetensinya sesuai dengan yang dibutuhkan. Dan proses kredensial ini harus dilakukan komite medik untuk mencari informasi, jadi di tahap perpanjangan ada proses cek and ricek, yang mungkin bagian kredensial, akhirnya dapat ditemukan permasalahan ini,” sarannya.

Pihak RS menurut dr Nadia sebetulnya bisa melakukan proses cross-check data nakes dengan pemerintah daerah maupun sejumlah organisasi dan asosiasi RS. Hal ini demi menghindari kasus serupa seperti yang dilaporkan pada RS PHC Surabaya.

“Setiap RS punya hospital by law, tentu harus ada pembinaan mengingatkan akan terus dilakukan bersama juga dengan Dinkes provinsi, kabupaten/kota, juga dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA), juga Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI),” tuntasnya. (tim redaksi)

#doktergadungan

#RSPHCsurabaya

#susanto

#pemalsuanidentitas

#profesidokter

#pidana

Give Comments